Top Ad 728x90

More Stories

Friday 20 January 2017

[Malam]

by

Kadang aku harus membenci malam, bukan saja karena ia merebutmu dariku, lebih dari itu karena malam pula yang menyelimutiku ketika langit menelan senja. Sedih memang, belum lagi ketika rindu mulai menyerang. Ah, ingin kubunuh saja malam, ingin rasanya kucabik-cabik saja hingga ia tak pernah kembali datang.

Namun, bukanlah hal yang bijak ketika aku harus mengutuk malam, hampir tak sadar aku diantara malam masih ada bintang, masih ada rembulan, masih ada seseorang untuk dirindukan. Andai saja ia berada disampingku, ingin sekali kubuat cemburu malam, sebab ialah milikku selama malam menjelang.

Yogyakarta, Januari 2017

Thursday 19 January 2017

Gadis Dalam Bingkai Hujan

by

Pagi ini aku masih memandang langit yang sama. Namun sepi hati ini menyamar seketika datangnya riuh hujan. Aku berdiri, memandang kejauhan di balik jendela kamar seraya menikmati kopi dalam sebuah cangkir. Ah, memang beda dari biasanya.

Aku termenung, menyadari bahwa waktu telah banyak berlalu. Sekeping kenangan tetiba terlintas dalam benakku tentang seorang gadis dalam bingkai hujan.  Aku terduduk dibawah naungan awan, tak peduli peluru langit berkali-kali menghujam tubuhku. Aku hanya bisa terdiam di balik serpihan rindu yang kian buram.

Sesaat setelah aku menundukkan wajahku dalam kepiluan, terasa hujan berhenti seketika itu juga. Aku memalingkan wajahku, kulihat sepintas seorang gadis berdiri tepat disampingku. Buraian senyum berseri sejenak terpenjara dalam tatapku, sebelum aku benar-benar kembali tenggelam, kembali menundukkan wajahku dalam kesedihan yang teramat.

"Ambillah payung ini untuk melindungimu dari terpaan hujan..!", katamu seraya mengulurkan payung dalam genggaman tanganmu.

Aku tetap saja menghiraukannya, bahkan untuk sekadar memalingkan wajah pun terasa berat. Hingga akhirnya kusadari ia sudah duduk disampingku, dalam dengan payung yang masih tergenggam dalam tangannya, menaungi kami berdua. Kini aku memandangnya dengan penuh tatapan hampa, tapi selalu saja ia membalas dengan senyum yang penuh makna.

"Aku ingin sakit dalam hujan, biarlah air melarutkankuku dalam kesedihan", kataku dengan putus asa.

“Jangannlah kau menjadikan hujan sebagai wujud kesedihanmu, berbahagialah karena datangnya hujan”

“Kini aku sudah kehilangan jiwaku dalam balutan hujan, kehilangan hatiku dalam risaunya awan”, kataku sesaat setelah kembali menundukkan wajahku.

“Hujan adalah anugerah dari yang dilangit untuk semua makhluk yang di bumi. Hujan selalu mengajarkan betapa sangat berharganya ia, hujan mengajarkan sebuah harapan, sebuah kerinduan. Lihatlah disekelilingmu, bagaimana ranting dan dahan menari menyambut datangnya hujan, melahirkan harapan untuk tetap hidup, sebuah kerinduan untuk tetap bahagia”,

Aku masih saja terdiam cukup lama, mencoba mengerti setiap kata yang keluar dari bibir manisnya, sampai akhirnya angin kecil membelah diamku. Iapun pasrah ketika sang angin membawa pergi payung yang menaungi kami, ia kembali tersenyum dan menyandarkan dirinya ke bahuku. Aku menoleh pelan, namun ia hanya membalas denga senyuman.

“Kita adalah kata yang telah usai, usahlah kau bermurung dengan hujan. Kuharap hadirku serupa hujan, dan kaulah ranting dan dahan itu. Nikmatilah hujan bersamaku, bersama ranting dan dahan yang menari, bukan bersama kemuraman dan kesakitan”

Ia melingkarkan tangannya memeluk erat tubuhku, kurasakan kehangatan diantara hujan. Sejenak aku berfikir, mungkinkah ini harapan yang hujan ajarkan padaku? Aku merasakan jiwaku perlahan kembali, Tak sengaja pandanganku berpadu dengan sayu mata yang diiringi senyum yang tak pernah lepas.

***

Kuhirup kembali aroma secangkir kopi pagiku, kunikmati kenangan yang terlintas bersama hujan, tanpa dirinya gadis dalam bingkai hujan. Sejenak kupalingkan pandangku terhadapmu yang masih terpulas dengan senyum tersirat, terlihat sama seperti saat hujan waktu itu. Ah, dasar gadis dalam bingkai hujan, kau memang selalu membuatku mengerti tentang harapan serta kebahagiaan. Dan aku benar-benar merindukanmu.

Yogyakarta, Januari 2017

Monday 21 December 2015

#Manusia; Individu yang mengikat dirinya sendiri walaupun sejatinya ia bebas

by

"Anjing ingin selalu bebas walaupun sejatinya ia terikat, sedangkan manusia mengikat dirinya sendiri walaupun sejatinya ia bebas"
Pernahkah mendengar pepatah di atas? Tersinggungkah ketika kita sebagai manusia di sejajarkan dengan seekor anjing? Manusia di beri akal, manusia di beri kebebasan (walaupun sebenarnya bukan kebebasan seutuhnya, masih ada agama yang mengatur kebebasan tersebut, namun kebebasan yang saya maksud adalah kebebasan di luar konteks ini), tetapi masih banyak dari mereka lebih memilih untuk mengikat dirinya sendiri secara tidak langsung dari dunia yang seharusnya ia jalani.

Hidup memang sebuah pilihan. Ya, saya sendiri setuju dengan hal tersebut. Namun, ketika dijatuhkan pada beberapa opsi, tentu kita akan memutuskan salah satu yang terbaik dari opsi tersebut. Namun, ketika kita memutuskan tanpa mempertimbangkan resiko, masihkah bisa disebut keputusan? ataukah hanya sekadar pilihan dengan seenaknya menunjuk seperti bayi yang merengek pada ibunya sambil menunjuk jarinya ketika meminta sesuatu? 
"Manusia merupakan bagian hidup dari orang lain"
Teringat ketika saya berkumpul dengan orang yang menjadi salah satu tokoh masyarakat, ia berkata, "manusia merupakan bagian hidup dari orang lain". Untuk membuktikannya cukup mudah, tinggalkan saja seorang diri di hutan dengan dicukupkan semua kebutuhannya. Kemungkinan besar ia akan mati disana, bukan karena hewan buas, melainkan dari dirinya sendiri. Stress. Itu akan cukup membuktikan bahwa manusia tak bisa hidup tanpa orang lain.

Manusia diciptakan untuk bersosial, berkumpul, saling membantu, saling menghargai. Ketika ia mencoba untuk menghindari hal tersebut, maka secara tidak langsung kita membatasi diri kita sendiri. Memenjarakan diri dalam sebuah jeruji tak kasat mata namun sejatinya begitu nyata dengan meninggalkan kodrat sebagai manusia yang seutuhnya. Banyak contoh sederhana yang dapat kita ambil dari kehidupan sehari-hari, namun kembali lagi bahwa hidup adalah pilihan -atau sebuah keputusan-

#siang bolong ngelantur
Yogyakarta, 21 Desember 2015



Sunday 20 December 2015

Malam Ini Masih Sama Seperti Malam Sebelumnya

by

Lama sudah aku tak menulis di tempat ini, masih saja gersang seperti sebelumnya. Walaupun aku sering menulis untuk keperluan lain, sepertinya lama pula aku tak mengisi rumah ini dengan kata-kata. Hampir tak ada yang berubah semenjak aku terakhir mengais asa dengan kata di dalam rumah ini, kecuali umurku yang sudah cukup bermassa dari sebelumnya. 

Kesibukan seperti biasa, walapun berada didepan layar aku hampir melupakan rumahku yang satu ini. Tempat segala aku untuk mencurahkan perasaan yang tak dapat diungkapkan dengan kata, namun dengan tulisan cukup membantu untuk mengurangi bebannya. Yah, memang malam ini masih sama seperti malam sebelumnya, hujan disertai dingin yang menyelimuti. Hanya kekosongan yang ada diantaranya.

Bodoh. Bisa dibilang demikian. Seperti drama. Bisa juga dibilang demikian. Masih berkutat pada gadis yang sama semenjak satu setengah tahun yang lalu. Tepat satu setengah tahun saat ulang tahunku aku bertemu dengannya. Dia masih saja sama, masih seperti dulu, masih diselimuti dengan beberapa pertanyaan yang belum pernah dijawabnya semenjak aku bertemu.

Setiap aku memulai kisahku, pasti akan kembali dengannya. Pertanyaan sederhana itu akan selalu muncul, namun aku tak pernah mengerti akan dirinya. Sekarang, pikiranku sudah tak seperti dulu, walaupun hatiku berkata sebaliknya. Entah sampai kapan berakhir. Andai saja malam ini tak seperti malam sebelumnya, mungkin aku akan tenggelam dalam kesepeianku. Entah sampai kapan.

dari aku yang selalu merindukanmu
Yogyakarta, 20 Desember 2015

Thursday 5 March 2015

Sepucuk Surat Untuk Seorang Bidadari

by

Rintik hujan malam ini kembali menyapaku, sempat aku merindukanmu. Seperti kemarin. Seperti ribuan malam yang merindukan satu bintang, walaupun bintang itu tak pernah datang. Mungkinkah aku harus seperii malam itu, menolak hadirnya pagi untuk sebuah bintang? Entahlah.

Malam ini aku terdukuk menatap langit, menyaksikan butiran-butiran air mata bulan membasahi rindu. Ingin rasanya kau bersanding bersamaku, bercerita tentang aku, tentang kau, tentang kita. Ataukah tentang awan yang tak sempat menyampaikan maafnya kepada langit hingga bulan pun ikut berpaling.

Malam ini pula aku merindukan sosok yang begitu sederhana. Sesederhana bait puisi tanpa kata. Hanya abjad demi abjad hampa yang menunggu untuk disusun bersama. Kau tahu, aku berharap bahwa sajak itu adalah do'a yang dirangkai untuk hidup bersama, yang tertulis di masing-masing hati kita.

Melalui sepucuk surat singkat ini, ingin sekali kusampaikan pula salam rindu padamu. Semenjak aku bertemu denganmu untuk pertama kalinya, hatiku memilihmu untuk mengisi bilik-biliknya yang kian kosong. Sempat aku hampir menolak bayangmu, namun entah mengapa aku semakin mengharap hadirmu.

Mungkinkah Tuhan berkehendak dengan memberikan jalan yang berbeda agar aku mengerti apa yang Tuhan rencanakan padaku? Ataukah itu semua hanya akan berahir menjadi sebuah kenangan? Entahlah, hanya saja ada hal yang lebih bijak daripada mengutuk kenangan, yaitu membuat cerita yang lebih indah selagi bersamamu.

Yogyakarta, 5 maret 2015
Dari seorang yang merindukanmu

Tuesday 10 February 2015

Pagi

by


Pagi ini, jiwaku sudah mulai usang didera waktu. Sekujur tubuhku kaku, sangat, bahkan tak sempat ku ucapkan sepatah kata dari mulutku. Jiwa yang dulu liar, kini hilang menunggu matinya sepi. Lengkung harapan kini mulai memudar, menanti senja tiada kabar.

10/02/2015

Saturday 7 February 2015

PENGHANTAR MIMPI

by

Aku selalu menitipkan namamu pada mentari yang menyala menjelang tidurku. Di kala sang Pencipta menggoreskan kuasnya di langit berarak awan diantara langit yang rupawan. Agar kau tahu, bahwa namamu seindah lukisan senja itu, dan aku berharap dirimu selalu menyambutku bersama kembalinya mentari, ketika saja aku terbangun dari mimpiku.

Sunday 25 January 2015

HATIMU DAN HATIKU

by

Hati ini sudah tak bernyawa lagi, katamu. Pancaran sinar yang keluar darinya pun hampir sekarat. Hanya buraian air mata di balik tawa yang bersembunyi dibalik karangan bunga yang tak sengaja waktu itu kau berikan padaku. Dengan tegak kau berdiri disana, membakar segala kenangan dengan kebencian yang merebak. Entah apa yang terjadi padamu, aku tak pernah tahu.

Top Ad 728x90

Top Ad 728x90